Hi Mommy... I Can See U From The Satellite.

Sarana komunikasi bagi teman, rekan kerja, keluarga, dan orang-orang lain yang memiliki penghargaan atas pentingnya sebuah informasi

Minggu, 07 Desember 2008

Kedudukan Hukum Adat Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA

·

(Sebuah Tinjauan Singkat)

Tanah merupakan tempat manusia menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, dan tanah tempat mereka dimakamkan.

Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Pemanfaatannya dilakukan untuk sebesar–besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah.

Di lingkungan hukum adat, mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus-pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya.

Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah–kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama manusia sangat berhubungan erat dengan pemanfaatan antar sesama manusia sekaligus guna menghindari perselisihan dan pemanfaatan tanah dengan cara yang sebaik–baiknya.Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan–ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak–hak yang ada diatas tanah.

Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum.[1] Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat).

Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan.[2]

Menurut Sumantri, konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Secara harfiah individualisme merupakan suatu ajaran yang memberikan nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Dalam sistem hukum Belanda hak perorangan dinamakan “Hak Eigendom” dimana Eigem/orang-nya dapat berbuat apa saja dengan tanah itu baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, menggunakan atau menelantarkan, dan bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak-hak orang lain.

Dalam konsepsi komunis yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 melalui manifesto komunis oleh Karl Max dan Frederick Engels sangat berbeda dengan konsepsi individualisme dan liberalisme. Menurut konsepsi ini terjadinya kemelaratan sebagian besar rakyat karena hasil produksi tidak terbagi secara merata. Dan hal ini disebabkan karena tanah dan alat-alat produksi lain yang dimiliki orang perorangan. Dengan demikian, maka tanah dan alat-alat produksi yang lain harus dimiliki bersama oleh rakyat supaya hasil produksi terbagi secara merata. Sedangkan dalam sistem hukum tanah yang berkonsepsi feodal, hak penguasaan yang tertinggi adalah “Hak Milik Raja”. Semua tanah di seluruh wilayah negara adalah milik raja. Tidak ada lagi penguasaan atas tanah yang setingkat hak milik, karena hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada Hak Milik raja dan mereka hanya sebagai pemakai/ penggarap.

Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum tanah adat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat.

Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.

Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”[3]. Hukum adat merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari Undang-undang Pokok Agraria tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda.[4]

Hal ini membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa tanah adat atau hukum tanah adat di Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pola hidup dalam persekutuan masyarakat hukum adat.


[1] Zulfikar, Opini: Nasib Tanah Hak Ulayat Aceh, terdapat di situs resmi LBH Banda Aceh. Dijelaskan juga pada: Ahmad Fauzie Ridwan, “Hukum Tanah Adat – Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila”, Jakarta: Dewaruci Press, 1982, hal. 12.

[2] Ibid.

[3] Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 LN. No. 104 Tahun 1960, Tanggal 24 September 1960, Pasal 6.

[4] Zulfikar, Op. Cit.

0 komentar:

W E L C O M E

Selamat datang buat para visitor blogspot ini, semoga dapat membantu anda dalam memperoleh informasi, pengetahuan, hiburan atau mungkin hanya sekedar ingin tahu dan melihat-lihat saja.
Please enjoy it, and thanx.

Best Regards,
RENDI TANAMO, SH.

H.I. SIREGAR & REKAN, Advokat/Konsultan Hukum

Profile

H.I Siregar & Rekan adalah Advokat/Konsultan Hukum yang dibidani oleh para sarjana hukum dengan para pelindung terdiri dari Purnawirawan Polri yang dibentuk pada tahun 2002. Mengutamakan kerja sama tim yang kompak dan disertai kreatifitas tinggi dengan dasar pemahaman ilmu hukum serta pengalaman yang dilandasi etika profesi yang terjaga, sehingga dapat menjaga dan memaksimalkan posisi serta kepentingan Klien yang tidak lain tujuannya adalah memberikan hasil yang terbaik.

Visi
Didasarkan atas kebenaran, etika-etika profesi serta standard profesional yang tinggi dalam penegakkan dan pengembangan hukum.


Misi
Menjadikan H.I.Siregar & Rekan sebagai salah satu kantor hukum terpercaya dan terkemuka di Indonesia dalam penanganan dan pemahaman hukum.


Personal

1. Iran Sahril Siregar, S.H.

2. Hendra Kurniawan Siregar, S.H.


Junior Associates

● Rendi Tanamo, S.H.

● Aziz Yanuar P., S.H.

● Dedy Supriadi, S.H.


Contact us:

Kantor Cabang

Jl. Nusantara Raya Ruko No.7

Depok Jaya, Pancoranmas,

Depok - 16432.

Telp/Fax. (021) 7520668, 98390703

Email: his_tanamo_rekan@yahoo.com

Blog: www.tanamo.blogspot.com

CP: 0812 104 2597


Kantor Pusat

Gd. Setiabudi Atrium Lt.2, R.209

Jl. H.R. Rasuna Said Kav.62,

Kuningan, Jakarta Selatan - 12920

Telp. (021) 98390703, 5206682

Fax. 7520668

Email: hi_siregar_rekan@yahoo.com



Picture of Me, Friends & Others

STOP CORRUPTION

STOP CORRUPTION
09 Desember 2008, Memperingati Hari Anti Korupsi Se-Dunia
Powered By Blogger