Perkembangan usaha perdagangan dan perindustrian di Indonesia telah membawa pada suatu segi yang lain dari hal itu sendiri, yaitu harapan agar dapat menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dengan cepat, murah dan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, bahwa penyelesaian sengketa tersebut tidak akan mengganggu iklim bisnis antara pihak yang bersengketa di samping terjaminnya relasi bisnis dari para pihak karena dipegang teguhnya kerahasiaan.
Dalam arti kata sehari-hari “sengketa” dimaksudkan sebagai kedudukan di mana pihak-pihak yang melakukan upaya perniagaan mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berbuat demikian.[i]
Saat ini dunia bisnis telah melirik bahkan cenderung memilih alternatif penyelesaian sengketa, karena kebutuhan akan penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak mengganggu iklim bisnis yang telah tercipta. Hal yang lain yang juga mempengaruhi adalah dirasakannya lembaga penyelesaian sengketa yang telah ada –pengadilan- tidak dapat mengakomodir kebutuhan pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketanya dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka alternatif untuk menghindari kemacetan penyelesaian sengketa ini banyak menjadi pilihan. Timbullah lembaga-lembaga yang dikenal sebagai “good offices” sebagai bentuk penyertaan pihak ketiga yang membawa pihak yang bersengketa ke meja perundingan apabila negosiasi sudah tidak mungkin lagi. Good offices inilah sebetulnya yang merupakan bentuk penyertaan pihak ke-3 yang paling awal sebagai penyedia fasilitas.[ii]
Pengertian Umum APS/ADR (Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution) adalah suatu cara penyelesaian sengketa di samping cara yang pada umumnya ditempuh oleh masyarakat (pengadilan). APS disebut juga alternatif penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court dispute settlement).[iii]
Adapun mengenai bentuk dari pada upaya APS tersebut antara lain:
- Negosiasi
Dengan kata lain upaya ini dapat dipersamakan dengan musyawarah untuk mufakat. Cara ini merupakan yang paling umum dilakukan oleh pihak-pihak untuk mengawali penyelesaian terhadap sengketa yang mereka hadapi.
- Pendapat Mengikat
Mekanisme ini dilakukan oleh para pihak dengan menunjuk pihak ketiga yang netral dan ahli untuk memberikan pendapatnya mengenai suatu sengketa atau perbedaan penafsiran ketentuan dalam suatu perjanjian.
- Mediasi
Mekanisme penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga dalam perundingan penyelesaian suatu sengketa, akan tetapi pihak ketiga tersebut tidak dapat memberikan pendapat atau keputusan mengenai sengketa melainkan hanya bertindak sebagai fasilitator perundingan.
- Arbitrase
Mekanisme penyelesaian sengketa ini hampir mirip dengan proses peradilan, hanya saja para pihak yang bersengketalah yang menunjuk hakim yang independent dan netral dalam hal ini disebut sebagai Arbiter, yang memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan sifat putusannya yang final dan mengikat para pihak yang bersengketa.
Dalam perkembangannya Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) lebih di dorong sebagai akibat kebutuhan pelaku usaha akan penyelesaian sengketa yang efisien baik dari segi waktu maupun biaya, disamping adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pengadilan.
Hanya saja perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa antara negara satu dengan negara yang lainnya berbeda-beda, yang bukan tidak mungkin disebabkan faktor-faktor sosial, ekonomi, sejarah, politik. Di Indonesia sendiri praktek seperti hal tersebut di atas sebenarnya sudah dikenal cukup lama, hanya pemahaman masyarakat dan tidak adanya keyakinan akan manfaat mekanisme tersebut membuat kurang popular di tengah-tengah masyarakat Indonesia.[iv]
Alternatif Penyelesaian Sengketa dari segi manfaat dapat dikatakan memiliki keunggulan dalam mekanisme dan produk yang dihasilkan –putusan- dibanding upaya penyelesaian melalui pengadilan. Undang-undang mengamanatkan agar peradilan di Indonesia dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun amanat itu nampak masih belum dapat terlaksana, karena pada kenyataannya berperkara di pengadilan bisa memakan waktu yang sangat lama karena prosesnya sangat panjang (banding, kasasi, PK) dan menumpuknya perkara di tingkat banding dan kasasi. Akibatnya biaya berperkara menjadi sangat tinggi. Proses penyelesaian yang berlarut-larut dan mahal menimbulkan risiko bagi masyarakat karena ada inefisiensi waktu dan biaya serta ada sebagian usaha/kegiatan menjadi terhalang untuk dikerjakan hingga kasusnya selesai.
Di samping itu, proses beracara di pengadilan terasa sangat kompleks dan kaku. Keadaan tersebut mengakibatkan keterbatasan pengadilan memberikan layanan keadilan kepada masyarakat. Akses masyarakat kepada keadilan menjadi semakin jauh, tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kecil tapi juga bagi hampir semua lapisan masyarakat. Dalam keadaan seperti itu masyarakat mencari alternatif selain pengadilan untuk menyelesaikan masalahnya.
[i] Yudha Bhakti, Makalah: Beberapa Catatan Tentang Badan Penyelesaian Sengketa; Arbitrase, disampaikan pada Kuliah Umum Hukum Internasional di Fakultas Hukum UMY, April, 2001.
[iv] Ibid, mengutip Soedikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, 1981.
0 komentar:
Posting Komentar